Pengrajin Senapan Angin di Desa Cipacing Kec, Jatinangor Kab, Sumedang
Desa Cipacing Kabupaten Sumedang sejak jaman Belanda terkenal sebagai
daerah tempat perbaikan dan pembuatan senapan angin. Tidak mengherankan
jika pada dekade tahun 180-an daerah ini mendapat predikat sebagai sntra
industri senapan angin Cipacing. Intuisi yang tinggi dalam meniru
kerajinan buatan dalam dan luar negeri menyebabkan pesanan aneka
kerajinan mengalir cukup deras ke Cipacing. Dengan demikian kehidupan
ekonomi para pengrajin relatif lebih baik dari sebelumnya dan Cipacing
hingga kini terkenal sebagai desa/daerah penghasil aneka kerajinan dan
Cipacing bukan hanya terkenal di dalam negeri bahkan ke mancanegara.
Sebagian orang tentu akan takut mendengar kata senjata atau senapan diucapkan, tetapi perasaan tersebut tidak bagi pengrajin
lokal dari daerah Cipacing dan Cikeruh, dua desa yang terletak di
20 kilometer dari kota Bandung, Jawa Barat. Di kedua desa tersebut
banyak dihasilkan senapan angin berkaliber 4,5 mm dengan beraneka jenis
bentuk serta ukuran. Tidak hanya senapan pompa yang harus dikokang
terlebih dahulu dengan menggunakan kekuatan pegas, disini juga terdapat
senapan patah lop atau bisa hingga senapan yang menggunakan tenaga gas
untuk memuntahkan peluru pelet.
Pengrajin senapan angin di
Cipacing dan Cikeruh bisa meniru senapan angin buatan luar negeri,
seperti senapan angin pompa merek Benjamin dan senapan Diana. Tidak
hanya pengrajin juga dapat membuat senapan angin dengan bentuk senjata
api laras panjang bahkan sniper-rifle. Bahkan senapan Benjamin, BSD, dan
Diana dianggap telah menjadi pajangan wajib di setiap toko di sepanjang
jalan Cipacing. Sayangnya secara kualitas walaupun telah mencontek
merek asing, senapan angin Cipacing belum bisa bersaing.
Apabila
dilihat dari sejarahnya, industri senapan angin di Cipacing telah
berlangsung hampir satu setengah abad. Usaha ini dirintis pertama kali
oleh Raden Nata Dimadja pada tahun 1854. Hinggal awal 1960-an, terdapat
catatan resmi dari generasi kedua Raden Nata Dimadja, bahwa terdapat
pengrajin senapan angin yang berada di desa Cikeruh dan Cipacing
walaupun bisa dihitung dengan jari. Itu pun terbatas pada jasa perbaikan
senapan angin yang berasal dari luar negeri. Dengan dorongan
memperbaiki tingkat kehidupan, berbekal pengalaman memperbaiki senapan
angin, akhirnya usaha membuat senapan angin secara mandiri pun dimulai.
Menurut
Haji Sayuti (62), salah seorang pemilik toko sekaligus bengkel senapan
angin Cipacing, Masyarakat Cipacing dan Cikeruh sudah membuat senapan
angin sejak tahun 1964. Bahkan pada awal tahun 1990-an jumlah pengrajin
bisa mencapai 400-an lebih. Wilayah pemasarannya pun cukup luas, tidak
hanya di Jawa Barat peminat senapan angin berada di seluruh Indonesia,
konsumen utamanya adalah petani. Haji Sayuti menuturkan,Sebelum tahun
1998, produksi senapan angin sangat pesat, saat itu peminatnya banyak
dan pasar stabil. Persaingan juga dilakukan secara sehat karena memang
tidak perlu berebut konsumen. Dengan modal seadanya selama kita punya
alat bubut dan tenaga pengrajin, kita bisa terus produksi. Dulu dalam
sebulan kita bisa memproduksi 30-40 pucuk senapan angin".
Sayangnya
krisis moneter memorakporandakan industri tradisional yang telah
berjalan puluhan tahun ini, setelah perekonomian jatuh pada tahun 1998
serta banyaknya konflik daerah seperti di Aceh, Maluku, Poso dll.
Senapan angin yangg semula dapat diperdagangkan secara bebas, mulai
dibatasi. Bahkan untuk wilayah Aceh, Maluku, Kalimantan dan Sulawesi,
tidak boleh sepucuk-pun senapan angin diperjual belikan di sana.
Haji
Sayuti menuturkan,sebelum krisis dulu banyak pengrajin yang
mendapat order-an dari luar pulau, tapi semenjak ada larangan pengrajin
dan pedagang jadi kehilangan pasar. Kita juga yang kena imbasnya, yang
tadi konsumennya luas di mana-mana sekarang ya di situ-situ juga, mau ga
mau kita bersaing.
Pada tahun 1992, pemerintah mengeluarkan
aturan bahwa pengrajin senjata angin harus memiliki badan hukum yang
sah. Berbagai cara ditempuh oleh pengrajin-pengrajin di daerah Cipacing
dan Cikeruh, walaupun ternyata untuk memproduksi senapan angin memang
tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pemohon harus memenuhi
berbagai syarat seperti yang diatur dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1948
tentang pendaftaran dan pemberian izin pemakaian senjata api.
Setelah
melalui proses perundingan yang cukup alot, tokoh pengrajin senapan
angin di Cipacing dan Cikeruh sepakat untuk membentukkoperasi. Hal ini
lah awal mulanya berdiri Koperasi Bina Bhakti SenapanAngin, dengan
adanya koperasi ini, Polri kemudian mengeluarkan izin penjualan senjata.
Izi ini berlaku selama lima tahun yang kemudian harus diperbarui setiap
5 tahun. Koperasi ini pula yang menyelamatkan pengrajin di daerah
Cipacing dan Cikeruh untuk dapat memproduksi senapan angin pada
masa-masa panas pada tahun 1998, karena pada era tersebut sangat sulit
untuk mengurus izin pembuata senjata, bahkan senjata yang tergolong
ringan seperti senapan angin sekalipun.
Ketua Koperasi Bina
Bhakti Senapan Angin, Idih Sunaedi (68) menuturan, “Setelah krisis,
jumlah pengrajin senapan angin di Cipacing dan Cikeruh menurun drastis.
Tahun 1990-an awal jumlah pengrajin senapan angin yang terdafar di
Koperasi jumlahnya 300-an orang, belum dihitung dengan pengrajin yang
tidak terdaftar. Sekarang jumlah pengrajin yang terdaftar di Koperasi
hanya 120-an saja.
Berbeda lagi dengan Ade Supriatna (54),
perajin asal Cikeruh. Menurut dirinya selain karena pasar yang mulai
jenuh, faktor harga bahan baku yang terus melambung juga penyebab
signifikan banyak pengrajin yang terpaksa gulung tikar. Hal ini
diperparah dengan harga senapan angin yang memang tidak pernah naik.
Kondisi
yang sulit ini mendorong kencangnya arus perpindahan profesi. Pengrajin
senapan yang tidak mampu bersaing harus rela banting stir guna
menyambung hidup menjadi kuli bangunan, pedagang, pengrajin barang lain,
dan buruh pabrik.Haji Sayuti memiliki cara jitu untuk meminimalisir
biaya yang harus dikeluarkan untuk memproduksi senapan. Kalau dulu
seorang pengrajin membuat senapan angin secara keseluruhan, mulai dari
pengadaan tabung, popor, membubut besi. Pola tersebut diubah menjadi
lebih spesifik, saat ini ada pengrajin yang hanya membuat popor, membuat
lop kemudian dirangkai oleh pengrajin yang bertugas memasarkan senapan
angin tersebut. Cara ini dianggap dapat memperingan pengrajin secara
finansial maupun tenaga, contohnya Idih, sejak tiga tahun ini ia hanya
merangkai senapan angin saja, bahan bakunya ia kumpulkan dari
pengrajin-pengrajin lain